Para Survivor Lautan (1) : Kisah 400 hari Terkatung Katung Di Tengah Samudra

 


Jose Salvador Alvarenga dan Ezequiel Cordoba (inset)


KISAH  400 HARI TERKATUNG KATUNG  DITENGAH SAMUDRA

Pada tanggal 30 Januari 2014, dua penduduk Ebon Atoll menemukan pemandangan di pantai setempat mereka - seorang pria berjanggut, telanjang bulat, memegang pisau dan berteriak dalam bahasa Spanyol. Pria itu adalah José Salvador Alvarenga, yang telah mengaku hilang di laut selama lebih dari satu tahun - 438 hari tepatnya. 

Jose Salvador Alvarenga mengaku telah terkatung katung dilautan sejak November 2012 hingga ditemukan pada Januari 2014. Ia terkatung katung selama 438 hari (14 bulan) dan menjadi satu-satunya orang yang diketahui selamat selama lebih dari setahun di laut.

Tentu tidak semua orang percaya dengan ceritanya. Apalagi ketika ditemukan tubuhnya terlihat segar. Cuma penampilannya saja tak terurus. Beritanya pun menjadi viral pada saat itu. Mengundang para ahli untuk menanggapinya. Banyak yang mendukung dan mempercayai ceritanya. tapi banyak juga yang menganggap kisahnya agak berbau 'amis'.

Kisahnya dianggap menarik dan inspiratif sehingga diangkat dalam beberapa buku. Antara lain yang saat ini masih dijual di amazon berjudul : 438 Days: An Extraordinary True Story of Survival at Sea oleh Jonathan Franklin. 

Bagaimana kisahnya sehingga ia terkatung katung di samudra luas ? dan bagaimana ia bisa bertahan di tengah lautan begitu lama ? Mari kita baca kisahnya !

Berangkat Memancing 


Kisah dimulai ketika Jose Salvador Alvarenga (36 tahun) merencanakan memancing selama 2 hari di laut. Ia mentargetkan ikan ikan besar seperti hiu, marlin dan ikan layaran yang harganya sangat mahal. Di pantai Costa Azul Mexico ini, persaingan nelayan sangat ketat. Maka ia mengajak seorang kru berpengalaman bernama Rodrigues untuk menjadi awaknya. 

Namun disaat saat terakhir, Rodrigues membatalkan diri. Ia menawarkan temannya yang masih satu usaha dengan Rodrigues. Ia bernama Ezequiel Cordoba (22 tahun). Ezequiel tidak memiliki banyak pengalaman sebagai nelayan. 

Meskipun Alvarenga tidak mengenal Cordoba (bahkan belum pernah berbicara dengannya), ia setuju untuk membawanya serta. Lagi pula, perjalanan mancingnya hanya 2 hari. Ia membayar Cordoba sebesar $50.

Mereka berdua meninggalkan pantai Meksiko pada 17 November 2012. Mereka memulai perjalanan memancing akhir pekan di lautan Pasifik terbuka. 

Perahu yang mereka gunakan adalah sampan nelayan kecil terbuat dari fiberglass berukuran 24 kaki (sekitar 7 meter). Perahu itu memiliki motor kecil. Didalamnya hanya ada beberapa perlengkapan dasar seperti alat alat pancing, radio dan cooler box besar. 

Nasib mereka bagus. Karena dalam beberapa saat mereka memancing, mereka mengumpulkan ikan ikan besar seberat 1000 pounds yang memenuhi cooler box.



Dihantam Badai


Malam itu, badai dahsyat mulai menyerang mereka, saat mereka berada delapan puluh mil di lepas pantai. Ketika angin kencang disertai hujan deras dan ombak setinggi sepuluh kaki menghantam perahu kecil mereka yang terbuka dari semua sisi dan hampir membalik mereka. 

Kapten Salvador Alvarenga berusaha mengarahkan perahunya untuk menepi. Tetapi sudah terlambat dilakukannya. Ia tidak lagi bisa melihat daratan. Perahu mereka pun terancam tenggelam oleh beratnya hasil tangkapan ikan dan curahan air dari langit. Mereka mulai berlari putus asa melalui ombak menerjang saat mereka mencari tempat berlabuh.

Badai berlangsung lama. Lima hari penuh. Kapten akhirnya memutuskan untuk membuang ikan ikan hasil tangkapannya, untuk menyelamatkan diri. 

Kesepian Yang Mengerikan

Pada hari ke-6, badai reda. Samudra tiba tiba begitu sepi dan tenang. Alvarenga dan rekannya terbangun, merasakan kesepian yang aneh. Terkucil.

Mereka memeriksa perahunya. Motor kapalnya telah hilang. Satu lagi motor Yamaha telah telanjang karena kehilangan penutupnya. Jaring jaring dan alat alat pancing rusak. Radio tidak berfungsi.

Perahu mereka kehilangan layar. Demikian juga dayung. Tidak mungkin lagi mengendalikan perahu ini. Terkatung katung. Terserah mau kemana angin membawa. Terserah mau kemana arus menyeret mereka dilautan Pasific yang luas.

Diperahu masih papan kayu panjang, satu ember abu-abu dengan beberapa pakaian, pisau pancing usang dengan pegangan retak, parang yang dapat dipercaya, tongkat kayu, kotak es kosong (dengan tutup), tumpukan botol-botol pemutih, tumpukan kecil tali nilon, motor tidak berguna dan satu bawang merah ditemukan terjepit di bawah kursi. Ada satu radio pancar yang masih berfungsi. Mereka gunakan untuk mengirim pesan 'mayday' kedaratan. Pesan itu tertangkap oleh Rodrigues, tetapi titik lokasi tidak bisa ditemukan karena baterai keburu habis. 

Masih ada sisa air badai yang menggenang didasar perahu. Cukup banyak juga. Setinggi pergelangan kaki. Rasanya tidak terlalu segar karena tercampur air laut. Mereka mengangkat papan kayu dan meletakkannya diatas dua kursi, sehingga mereka bisa tidur diatasnya tanpa menguras genangan airnya. Setelah itu mereka tertidur lelap. 

Halusinasi dan Fatamorgana

Memasuki hari ke-7. Mereka terbangun dari tidur dan merasakan ketenangan yang aneh. Saat Alvarenga dan Córdoba menatap cakrawala, lautan tenang itu mengubah persepsi kedalaman. Laut seolah olah menjadi perairan dangkal. Objek sedalam 30 meter diperbesar dan terdistorsi oleh air sehingga tampak seolah olah dekat dengan mereka. Satu blok Styrofoam yang hanya berjarak satu kilometer jauhnya tampak seperti kapal induk di cakrawala. Para lelaki itu tidak memiliki kepastian terhadap apa yang dilihat.  

Mereka merasakan kehausan yang menyakitkan. Genangan air tidak mereka sentuh, karena mereka melihat buah kelapa ada di mana-mana. Juga buah buahan lain terapung apung. Mereka seolah olah bisa merasakan dingin dan nikmatnya buah kelapa. Hampir hampir mereka memberanikan diri untuk berenang mengambil kelapa kelapa itu. 

Namun Alvarenga tidak tergoda. Dia nelayan berpengalaman. Dia tahu bahwa itu semuanya hanya halusinasi dan fatamorgana. Dia tahu risikonya jika sampai nekad berenang.  Hiu pasti segera menyambarnya meski ia tidak melihat ada sirip hiu muncul disekelilingnya.

Menangkap Ikan Dan Meminum Urin  Untuk Bertahan Hidup

Memasuki minggu ke 2, untuk sementara rasa haus masih bisa diatasi. Genangan air cepat sekali habis karena mereka minum dan menguap. Keduanya sudah sekian lama belum makan. Maka mereka harus memikirkan cara menangkap ikan.

Ketika mereka berlayar ke barat daya, Alvarenga mengamati ikan trigger kecil - panjangnya 18 sentimeter - yang sedang menggerogoti kapalnya. Ikan ini dikenal sebagai "piranha laut", memiliki gigi tajam dan suka mengampelas bagian bawah kapal dengan gigi mereka.

Alvarenga berlutut ditepi perahu menyiapkan kedua tangannya untuk menjebak mereka. Dia tangannya ke dalam air hingga sebatas bahunya. Ketika seekor ikan berenang di antara kedua tangannya, dia segera menangkap mereka, dengan mencengkeramkan kuku-kuku jarinya. Alvarenga sangat berpengalaman.  Segera dia mampu menangkap sebanyak 30 ikan kecil dalam satu sesi.

Córdoba bertugas menyiangi ikan. Itu memang keahliannya selama bekerja didaratan. Ia membersihkan dan mengiris daging menjadi potongan kecil kecil seukuran jari. Lalu dibiarkan kering di bawah sinar matahari. Dari daging ikan itulah mereka makan. Mereka santap mentah mentah.

Perahu itu terus membawa mereka ketengah samudra yang luas. Mereka berlayar tak tentu arah. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Keduanya bertahan hidup sebisanya. Mereka mempertahankan nyawa selama mungkin sambil terus berharap menemukan daratan atau diselamatkan. Mereka kerap memandangi langit untuk melihat barangkali ada pesawat yang melintas.

Air hujan adalah satu satunya harapan mereka untuk mendapatkan sumber air segar. bila hujan turun, mereka segera menampungnya sebanyak banyaknya untuk minum. Tapi hujan tidak selalu turun. Seringkali langit begitu cerah tanpa ada kepingan awan sedikitpun. Untuk mengatasi haus, mereka meminum air kencing mereka sendiri. Bila mereka mendapatkan penyu atau burung, maka darahnya akan mereka minum untuk bertahan hidup.

Alvarenga mulai minum air kencingnya. Dia tidak malu melakukan itu. Dia mendorong Córdoba untuk mengikutinya. Rasanya memang asin, tetapi masih lebih baik daripada minum air laut. Hal itu dilakukannya berulang kali. Kencing, minum lagi, pipis lagi, minum lagi.

Tetapi air seni, tetap saja mengandung garam, membuat keseimbangan internal tubuh tidak seimbang dan mengharuskan tubuh untuk mengonsumsi lebih banyak air tawar dalam upaya membuang garam.

Mental Cordoba Melorot Turun


Alvarenga sejak kecil sudah hidup dilaut. Ia sudah terbiasa mengatasi kondisi kondisi darurat. Dengan keahliannya, ia bisa menangkap ikan, penyu dan burung. Ia juga tidak kesulitan menyantap binatang binatang itu mentah mentah. Ia juga bisa melihat tanda tanda alam seperti bintang bintang sebagai petunjuk. Ia membuat guratan guratan untuk menandai waktu dengan petunjuk bulan.

Tetapi Cordoba adalah pelaut pemula. Tampaknya ia sulit bertahan. Ia nyaris tidak berguna selama terapung apung. Ia juga kesulitan memakan hewan hewan mentah. Ia tidak sanggup menelan air asin. Juga urinnya sendiri. Karena itu kondisi fisik dan mentalnyanya makin lama makin lemah. Ia putus asa.
Dalam keadaan putus asa itu ia sering melakukan hal yang membuat Alvarenga khawatir. Cordoba sering berhalusinasi minta diberikan jus jeruk. Ia seolah olah melihat supermarket buka.

Córdoba yang dehidrasi itu memohon kepada Alvarenga, "Jeruk, bawakan aku jeruk." Alvarenga berdiri dan meyakinkannya bahwa makanan sudah dekat. "Oke, aku akan pergi ke toko, aku akan melihat apakah toko itu buka. Aku akan membawakanmu makanan," katanya dengan meyakinkan sambil menunjuk ke cakrawala.

Alvarenga berjalan selama beberapa detik untuk meyakinkan Cordoba bahwa ia benar benar ke toko. Kemudian dia berjalan kembali membawa berita buruk. "Toko tutup, tapi jangan khawatir, mereka buka dalam satu jam dan mereka punya tortilla segar."

Tak disangka, sandiwara ini berhasil. Córdoba berhenti mengerang dan tertidur. Permainan mengunjungi toko membuat Alvarenga beristirahat selama beberapa jam dari awan ketakutan yang menguasai pikiran Córdoba.

Menyantap Burung Yang Baru Saja Makan Ular


Laut adalah tempat yang penuh dengan kehidupan. Dan itu adalah sumber makanan yang melimpah. Alvarenga merasa dia berada di sangkar tempat makanan yang dipamerkan dengan menggoda, tapi berada di luar jangkauan. Di atas kapal dia melihat ikan dikejar oleh predator yang lebih besar, melompat keluar dari laut. Namun semuanya sulit ditangkap. Lalu Alvarenga mulai mengintai burung laut. Karena perahu mereka sering dikunjungi burung. Bahkan burung pertama, berhasi ditangkapnya karena burung itu hinggap dikepalanya. 

Alvarenga membersihkan tangkapan yang tidak seberapa itu. Ia meletakkan potongan daging berkilau. Dia menambahkan satu-satunya bumbu yaitu tetes air laut Dia dan Córdoba duduk untuk makan. Alvarenga memasukkan sepotong "daging burung" mentah seukuran sashimi ke dalam mulutnya dan mengunyahnya dengan penuh semangat.

Córdoba membuat kesalahan yang mahal: dia mencium bau daging burung laut. Córdoba lantas merasa jijik pada bau busuk burung itu. Ia tidak mau memakannya meski kelaparan. Alvarenga terpaksa mengancamnya  untuk makan daging burung mentah itu. Akhirnya, Cordoba mau menggigitnya. Kelaparan telah mengalahkan rasa jijik.

Suatu malam menjelang natal, Alvarenga membersihkan burung-burung dan memulai menyiapkan makanan itu.  Mereka berdua menyantapnya. Tak beberapa lama, Córdoba terbatuk. Kemudian ia menjerit kesakitan : "Perutku," erangnya. Matanya melotot menahan sakit. Cairan menetes dari mulutnya. 

Alvarenga menyerahkan botol setengah liter berisi air hujan. Córdoba mengisap botol dan kemudian meludahkannya. Perutnya dipegang erat-erat dan rasa sakit bertambah.

Mereka berdua akhirnya membedah usus "bebek" itu. Córdoba menemukan kerangka sepanjang 15 sentimeter. Kulitnya telah rontok dan sebagian besar dagingnya hilang, tetapi masih cukup bagi mereka untuk mengenali, bahwa itu sisa-sisa ular laut berbisa kuning. 

"Chancha, ada seekor ular di dalam sini!" seru Córdoba.

"Ya, dan kamu sudah memakannya," jawab Alvarenga.

"Sial, aku akan muntah," gagap Córdoba. Mulutnya berbusa. Ia keracunan bisa ular. 

Alvarenga mempertimbangkan nasibnya sendiri. Apakah dia juga keracunan ? Ternyata tidak. Alvarenga tidak sakit seperti Cordoba.

Akhirnya setelah batuk dan muntah selama 4 jam, keadaan Cordoba membaik dan stabil. Tetapi, setelah itu ia tidak mau menyantap apa apa lagi.

Akhirnya Cordoba Tewas

Córdoba tenggelam lebih dalam ke dalam depresi. Sejak makan malam dengan ular itu, Córdoba mempertahankan penolakannya untuk makan. Ia menjadi layu dan layu. Lengannya mulai terlihat kurus seperti tongkat. Pahanya berkurang menjadi seukuran lengan bawah. Tapi ia masih mau makan penyu dan ikan walau sedikit.

Di sisi lain, Alvarenga semakin mahir berburu. Ia memiliki stok tiga kura-kura hidup, sekawanan kecil burung dan potongan-potongan ikan kering. Agar burung tawanan tidak terbang, Alvarenga akan mematahkan tulang di satu sayap.

Teknik berburu burung Alvarenga sekarang sangat efektif sehingga dia memakan seekor burung setiap hari, kadang-kadang dua ekor, dan berat badannya sudah stabil. Hari itu tiba tiba Cordoba bergumam : "Jika aku mati, letakkan tubuhku di haluan, ikatkan aku ke depan kapal."

Pelayaran mereka memasuki bulan keempat. Cordoba secara mental dan fisik sudah terkuras. Tubuhnya menderita. Pikirannya hanya ingin mati. Ia menolak makan karena ingin cepat mati.

Dalam kondisi sekarat, Cordoba mengambil sumpah Alvarenga untuk tidak memakan mayatnya. Juga meminta agar nanti menemui ibunya untuk mengabarkan kematiannya. "Berhenti bicara omong kosong, tidak ada yang sekarat," jawab Alvarenga.

Córdoba membayangkan lebih baik mati di laut daripada mati kelaparan di kapal. Iapun menyusun rencana kamikaze : dia akan menunggu kawanan hiu berkerumun, kemudian ia melompat ke air. Ketika hiu-hiu itu pesta isi perut burung yang sengaja diumpankan, Cordoba bergerak di dekat tepi kapal.....

"Selamat tinggal, Chancha," katanya dan bersiap untuk melompat ke laut.

Tapi dengan cekatan Alvarenga berhasil meraihnya. Mereka berkelahi dan bergulat, tetapi Alvarenga mengalahkan Córdoba dan menguncinya dalam pelukan beruang, lalu menyeretnya di lantai dan memasukkannya ke lemari es. Córdoba mulai menggedor dan meronta-ronta, tetapi lemari es saja berbobot hampir 50 kilogram. "Kamu harus berhenti berpikir untuk bunuh diri," teriak Alvarenga dari balik dindingnya.

Akhirnya Cordoba Akhirnya Tewas.

Setelah peristiwa percobaan bunuh diri itu, Cordoba hanya meracau lalu tidur. Suatu pagi ketika Alvarenga menyiapkan sarapan, Cordoba berteriak : "Aku sekarat, aku sekarat..."

"Jangan pikirkan itu. Ayo tidur sebentar," kata Alvarenga sambil berbaring bersama Córdoba.

"Aku lelah, aku ingin air," keluh Córdoba. Napasnya ngorok.

Alvarenga mengambil botol air itu dan meletakkannya di mulut Córdoba, tetapi ia tidak bisa menelan. Sebaliknya dia berbaring. Tubuhnya bergetar dalam kejang-kejang pendek. Dia mengerang dan tubuhnya tegang.

"Jangan mati," kata Alvarenga, yang tiba-tiba panik. Dia berteriak ke wajah Córdoba, "Jangan tinggalkan aku sendiri! Kau harus berjuang untuk hidup! Apa yang akan kulakukan di sini sendirian?"

Córdoba tidak menjawab. Beberapa saat kemudian dia meninggal dengan mata terbuka. "Aku Alvarenga menangis berjam-jam."

Alvarenga membiarkan mayat itu diatas perahu. Ia tidak segera membuangnya kelaut. Ia masih berharap ditemukan dalam waktu dekat. Ingin sekali ia memberikan penguburan yang layak untuk rekannya itu.

Selama enam hari Alvarenga berteman dengan mayat. Ia bahkan mengobrol dengannya seperti orang gila. Mayat Córdoba ada di haluan kapal, duduk di bangku. Alvarenga bertanya kepada mayat itu, "Bagaimana perasaanmu?  Bagaimana tidurmu?" Alvarenga menjawab pertanyaannya sendiri dengan keras seolah-olah dia adalah Córdoba yang berbicara dari akhirat. "Ya, aku sudah makan. Dan kamu?" lanjut Alvarenga, berbicara dengan Córdoba. "Aku juga," jawabnya, seolah-olah dia adalah Cordoba. "Aku makan di Kerajaan Surga."

Percakapan berlanjut seolah-olah mereka adalah dua teman mengobrol yang menyantap sarapan santai. Alvarenga memutuskan cara termudah untuk mengatasi kehilangan satu-satunya rekannya adalah berpura-pura tidak mati. Sepanjang hari, Alvarenga memperlakukan mayat seperti seorang teman yang dengannya dia dapat berbagi ketakutan.

Pada hari kedua setelah kematian, tubuh Córdoba berubah menjadi ungu saat percakapan berlangsung. Pada hari ketiga, kulitnya mulai matang di bawah sinar matahari. Seperti kulit kering itu mengembangkan tepi yang kerak. Dia tidak pernah mencium bau. Dia hanya mengering di bawah sinar matahari.  Kelihatannya normal. Sesekali Alvarenga memeluknya."

Pada hari keempat, Córdoba hampir hitam dan Alvarenga sepenuhnya memasukkan mayat itu ke dalam rutinitas hariannya. Menawarinya makan, menyanyikan lagu-lagu pujian. Dia yakin Córdoba mendengarkan dan memperhatikan dengan seksama untuk melihat apakah tubuh itu bergerak.

Kesendirian dengan mayat ini mendatangkan malapetaka pada kewarasan Alvarenga. Dia mulai menjadi gila. Dia tidak bisa membayangkan selamat sendirian di atas kapal. Mungkin kematian bukanlah jalan yang gelap, pikir Alvarenga ketika dia menghabiskan waktu berjam-jam menatap pasangannya yang sudah mati. Sampai akhirnya dia menyadari, kalau sebenarnya ia sekarang sendirian. Ia merasa gila. Mayat Cordoba semakin membusuk. Maka iapun membuang mayat itu kelautan.

Berlayar Sendirian 


Berlayar sendirian terasa lebih berat. Alvarenga merasa apa gunanya lagi ia menunda kematian. Kesendirian dengan mayat ini telah mendatangkan malapetaka pada kewarasan Alvarenga. Dia mulai menjadi gila. Dia tidak bisa membayangkan selamat sendirian di atas kapal. Mungkin kematian bukanlah jalan yang gelap, pikir Alvarenga Toh ia juga akan segera mati juga. Ia memutuskan untuk bunuh diri. Melompat kelautan. Supaya dimakan hiu atau mati tenggelam.

Namun ia masih memiliki iman dalam hatinya. Ia tidak jadi bunuh diri. Ia memutuskan untuk berjuang meski sendirian. Dalam sisa waktunya.

Alvarengga terus terkatung katung kurang lebih 10 bulan lagi sejak ditinggal mati oleh rekannya. Ia menempuh jarak yang sangat jauh. Dari tempatnya semula yaitu pantai Costa Azul Meksiko. Menyeberang ke hampir seperempat planet bumi melintasi Lautan Pasific. Ia akhirnya terdampar di Kepulauan Marshall, di sebuah Atoll yaitu Ebon Atoll di tengah Samudera Pasifik, pada bulan Januari 2014. Total jarak yang ditempuhnya adalah sekitar 8.000 km. Hampir memasuki perairan Indonesia.

Grafik Peta Perjalanan Alvarenga selama 400 hari lebih


Akhirnya Melihat Daratan


Setelah menempuh perjalanan selama setahun lebih, akhirnya Alvarenga menemukan apa yang diimpikannya selama ini, yaitu melihat daratan. Perjalanan panjang ini menemukan titik akhirnya.
Ia tidak berusaha mendayung perahunya menuju daratan yang dilihatnya itu. Perahunya rusak parah dan tidak ada dayung. Ia takut perahu itu akan membawanya menjauhi pulau itu karena tidak ada kendalinya.

Maka ia tinggalkan perahunya dan berenang menuju daratan. Rupanya tempat ini adalah Ebon Atoll Sesampainya didaratan, ia menemukan sebuah rumah kecil dipantai. Ia mendekati rumah itu dan mengetuk pintunya. Maka terjadilah kisah sebagaimana yang telah kita tulis dimuka.

Rumah itu berisi pasangan yang ketakutan melihatnya. Mereka segera mengontak pihak berwenang. Ia menceritakan kisahnya tetapi disambut dengan rasa tidak percaya oleh mereka. Keluarga Alvarenga pun dihubungi dan mereka pun sangat terkejut.

Pada 30 Januari 2014, 14 bulan setelah kepergiannya dan 8.000 kilometer dari tempat asalnya, Alvarenga hanyut ke darat di Ebon Atoll di Kepulauan Marshall. Dia dirawat di rumah sakit sebelum diterbangkan ke El Salvador, di mana dia bertemu kembali dengan orang tua dan putrinya yang sangat gembira

Pada Maret 2014, di tengah banyak sorotan media, Mr Alvarenga mengunjungi ibu Ezequiel Cordoba, Rosalia Rios, dan menyampaikan pesan dari putranya.

Menghadapi Gugatan

Setelah semua pengalamannya berlayar yang begitu menyeramkan itu, ia kini hidup didarat. Ternyata nasibnya tidak lebih baik. kisahnya menarik perhatian dunia. Ia menjadi sorotan. Menjadi selebriti. Kisah hidupnya ditulis dalam buku.

Buku itu tidak laris dipasaran. Hanya laku 1500 eksemplar. Tapi orang orang mengira Alvarenga telah kaya raya. Termasuk orang tua Cordoba yang mencoba mengambil keuntungan darinya. Akhirnya Alvarenga digugat sebesar $ 1 juta dengan tuduhan telah melakukan kanibalisme. Mereka menuduhnya telah memakan jasad Cordoba untuk mempertahankan hidup.

"Saya percaya bahwa permintaan ini adalah bagian dari tekanan dari keluarga ini untuk membagi hasil royalti," kata Ricardo Cucalon, pengacara baru Alvarenga. Dia mengatakan kepada surat kabar El Salvador El Diario de Hoy bahwa Alvarenga selalu menolak makan Cordoba.

Dilain pihak, pengacaranya juga menggugat dia sebesar $1 juta, terkait royalti buku. Mr Perlera, pengacara sebelumnya, menggugatnya sebesar $ 1 juta setelah Mr Alvarenga menandatangani kesepakatan buku dan beralih perusahaan. 

J*******

Cek Sumber :

Para Survivor Lautan (1) : Kisah 400 hari Terkatung Katung Di Tengah Samudra 4.5 5 Subhan Hidayat Jose Salvador Alvarenga dan  Ezequiel Cordoba (inset) KISAH  400 HARI TERKATUNG KATUNG  DITENGAH SAMUDRA Pada tanggal 30 Janua...


Sampah Digital. Diberdayakan oleh Blogger.