Para Survivor Lautan (2) : Tiga Remaja Dari Tokelau

 


Kisah tiga anak laki-laki dalam satu perahu kecil yang terkatung katung selama 51 hari di Samudra Pasific. Sebuah kisah mengerikan tentang kelangsungan hidup yang hampir mustahi. 

Anda tentu sudah membaca kisah Jose Salvador Alvarenga yang terkatung katung selama 400 hari lebih dilautan. Apa yang dialami oleh 3 anak remaja ini mungkin tidak sebanding dengan yang dialami Alvarenga. Mereka cuma 51 hari dilautan. Tetapi, resiko kematian yang mengancam mereka lebih berat dari Alvarenga. 

Pertama, mereka bertiga masih remaja yang belum berpengalaman dilaut. Yang kedua, perahu mereka lebih kecil dan lebih rendah. Sementara, penumpangnya ada 3 orang berjubel. Yang ketiga, mereka tidak memiliki alat tangkap dan alat alat pendukung lainnya. 

Maka kisah 3 remaja ini bertahan hidup dilautan ini cukup isnpiratif dan sangat layak untuk disimak.   

3 Remaja Atafu, Tokelau


Kisah ini dimulai di Atafu, lautan Pasific. Atafu adalah salah satu dari tiga atol yang membentuk negara Tokelau (yang secara teknis bukan merupakan negara tetapi teritori Selandia Baru). Jumlah total tanah di Atafu adalah 1,4 mil persegi. Populasi penduduk: 524 orang.

Atol terdekat, sama kecilnya dengan Atafu. jauhnya adalah lima puluh tujuh mil ke selatan, di luar jangkauan jarak pandang. Daratan terdekat yang cukup besar adalah Samoa. Naik feri 28 jam jauhnya. Dari titik mana saja di garis pantai Atafu, tidak ada yang bisa dilihat selain air, sampai ke cakrawala.

Tidak ada jalur pendaratan di Tokelau. Juga tidak ada anjing, penjara, pengacara, trotoar, atau tanah. Daratan yang ada itu sebagian besar berupa pecahan karang. Daratan paling tinggi adalah lima belas kaki. Kelapa dan ikan adalah makanan tradisional penduduk Atafu. Meskipun feri, yang datang dua minggu sekali, membawa begitu banyak makanan instan cepat saji akhir-akhir ini sehingga obesitas dan diabetes menjadi masalah yang signifikan.

Itu dimulai, dalam tradisi besar gagasan yang tidak dipertimbangkan dengan baik, dengan sekelompok anak laki-laki dan sebotol minuman keras — keadaan yang paling umum di tempat-tempat yang paling tidak umum. 



Salah satu bocah lelaki yang akan menjadi tokoh kita kali ini bernama Filo Filo (di Tokelau memiliki nama depan dan belakang yang sama adalah hal biasa.) Filo tinggi, kuat dan sangat atletis. Umurnya baru 15 tahun. Mimpinya adalah bermain untuk kelompok rugby Selandia Baru All Blacks. Kedua orang tuanya adalah Tokelauan, penduduk asli Tokelau. Tapi Filo justru menjalani hidupnya jauh dari pulau ini. Ia tumbuh besar di Sydney, Australia, tempat ibunya pindah setelah dia berpisah dari ayah Filo.

Tetapi pada tahun 2007, ibu Filo khawatir tentang kepribadiannya yang buruk dan reputasinya yang semakin meningkat sebagai pembuat onar. Sebagai upaya memperbaiki sikapnya, ia mengirimnya ke Atafu untuk tinggal bersama ayahnya, yang bekerja sebagai nelayan.

Filo menonjol dalam bidang olahraga, dan segera ia menjadi atlet bintang di Atafu. Tetapi tingkah lakunya masih berandalan sehingga teman sekelas memanggilnya "calon gangster." 

Filo punya sahabat karib, seorang bocah lelaki bernama Samu Tonuia (15 tahun). ia adalah tokoh kedua kita. Mereka berdua berusia 15 tahun dan berada di kelas yang sama di sekolah (kelas dengan tujuh siswa). Samu, seperti Filo, tinggi, berotot dan juga pemain rugby yang sangat baik. Bedanya, Samu tidak pernah sekalipun dalam hidupnya meninggalkan Tokelau. Samu tinggal di Atafu bersama neneknya. Dia belum pernah berada di pesawat terbang, restoran, atau bioskop. Menurut salah satu teman sekelas, Samu telah menjadi murid yang baik — sampai Filo tiba...!

Di Atafu ada sebuah Clubhouse. Tempat ini menjadi tempat berkumpul anak anak muda. Didalamnya ada sofa-sofa yang rusak, dinding-dinding berukir, terletak dekat ujung satu-satunya jalan di satu-satunya desa di pulau Atafu Pasifik. Jadi di sanalah mereka, Filo dan Samu, duduk minum minum vodka, merokok, dan bercerita. Sampai larut malam. Hampir setiap hari.

Tokoh ketiga kita adalah Etueni Nasau. Etueni (namanya diucapkan ed- ween -aye), berusia 14 tahun, setahun lebih muda dari Samu dan Filo dan satu kelas lebih rendah di sekolah. Dia juga jauh lebih kecil dan tidak atletis. Etueni bukan orang luar, seperti Filo, atau orang dalam, seperti Samu, tetapi di antara keduanya. Ia lahir di Selandia Baru, menghabiskan masa kecilnya di Atafu, bersekolah di Samoa Amerika, dan kemudian pindah penuh waktu ke Atafu pada 2008.

Ide Melarikan Diri Dari Atafu 


Sebagaimana semua tempat didunia, pasti memiliki aturan yang tidak boleh dilanggar. Apalagi di Atafu, yang dikelilingi lautan luas. Ada aturan tegas yang dianut Tokelauan untuk melindungi masyarakatnya. Diantara aturannya adalah, tidak boleh ada seorangpun yang berlayar keluar atol tanpa didampingi TAUTAI. Tautai adalah gelar yang diberikan oleh para tetua di pulau itu kepada seorang nelayan ahli pilihan. Bahkan seorang Tautai tidak akan berani menjelajah terlalu jauh dilautan. Lautan adalah tempat yang tak terduga dan terkadang penuh kekerasan, dan gelar tautai, setara dengan SIM.

Tetapi bagi 3 remaja pria ini, di Atafu seperti penjara. Kesenangan sangat terbatas disini. Keterasingan Atafu terkadang sulit ditanggung Adanya layanan internet satelit dipulau ini, justru memberikan informasi kepada mereka bahwa dunia luar sangat menyenangkan. Banyak keseruan dan kebahagiaan diluar pulau ini. Bagi Filo Atafu "terasa seperti penjara." Keinginan untuk melarikan diri menjadi kuat luar biasa. Bagi Filo aturan dibuat untuk dilanggar

Suatu hari di Clubhouse seseorang mengisahkan kisah lama petualangan para remaja. Lima atau enam tahun sebelumnya, tiga remaja nekat naik perahu tanpa izin dan melanggar salah satu aturan utama masyarakat Tokelauan. Mereka berkelana ke lautan terbuka tanpa pengawalan tautai, seorang nelayan ahli. 

Samu (Samuel Peleha), Etueni Nassau, dan Filo Filo

Mereka melarikan diri, berusaha mencapai tempat lain. Ya...tempat lain yang tidak pernah mereka ketahui. Mereka tidak berhasil. Mereka diselamatkan setelah lima hari dengan feri Tokelau. Mereka kehabisan bensin tetapi memiliki banyak makanan. Meskipun mereka akhirnya dihukum berat oleh para tetua.

Kisah itu, bagi Filo dan Samu adalah kisah inspiratif. Dan ketika kendi plastik vodka diedarkan, kisah lama segera berubah menjadi gagasan baru. Pada saat kendi itu selesai, idenya sudah menjadi rencana.

Etueni mendengarkan cerita itu dengan saksama sambil menghidangkan vodka. Dia bukan peminum.  Kisah para remaja memicu sesuatu di Etueni. Dia sebenarnya menjadi murid yang baik, anak lelaki yang santun. Tetapi dia juga sering frustrasi dengan batas-batas kehidupan yang terkurung di sebuah atol kecil. Baginya, dunia ini hanya satu mil persegi. "Ini neraka aneh..," cuitnya di media sosial.

Dia juga ingin menjadi lebih populer, dan dianggap sebagai pahlawan daripada kutu buku. Untuk itu ia harus memiliki petualangan besar. Maka ketiga anak remaja ini saling bertukar ide untuk keluar dari atol. Berpetualang mencari kebebasan. Bincang bincang ini seketika berubah menjadi serius, ketika Samu mengumumkan bahwa dia bersedia mencuri kapal pamannya .....

Mencuri Kapal Dan Buah Kelapa


Sekarang sudah lewat tengah malam. Filo, Samu, dan Etueni menyebar di seluruh desa. Misi pertama mereka adalah : menemukan bensin. Mereka berhasil mengumpulkan sekitar dua puluh galon dalam lima jeriken plastik. Mereka mengangkut gas curian itu ke kapal paman Samu. lalu mereka menyimpannya disana.

Kapal itu adalah, Frewza berwarna perak, buatan Selandia Baru, dengan mesin Yamaha lima belas tenaga kuda. Tidak ada yang mewah dalam kapal itu, hanya ada beberapa bangku kayu yang tidak dicat, ruang penyimpanan kecil di haluan yang dapat membuat beberapa barang tetap kering. Satu-satunya barang di dalam adalah parang kecil dan palu kayu, yang digunakan untuk memukul ikan. Bagian lunas pemecah ombaknya, hanya enam belas inci, cukup untuk membelah gelombang terkecil. ara,

Setelah mengisi bensin, anak-anak itu kembali berpisah, berlari jarak pendek dari dermaga ke desa. Filo menyelinap masuk ke rumahnya dan mengambil terpal hijau, karung plastik besar berisi dua puluh kelapa, cangkir teh putih, dua bungkus rokok Pall Mall, dan sebotol vodka yang masih disegel. Dari kulkasnya, ia mengambil dua botol susu dan satu toples mayones Kraft yang diisi dengan air.

Samu, sementara itu, memanjat pohon dan merobohkan sembilan kelapa lagi. Etueni telah diperintahkan untuk menemukan peralatan memancing, tetapi dia khawatir akan membangunkan seseorang dan tertangkap. Jadi tidak ada alat tangkap sama sekali...!

Anak-anak lelaki itu naik ke kapal. Untuk menguatkan tekad mereka, mereka membuka vodka, menuangkannya ke cangkir, menambahkan sedikit air, dan mengedarkannya. Kali ini, Etueni bergabung ikut minum. Samu menyalakan mesin. Itu adalah kesempatan terakhir untuk membatalkan rencana, dan berlari pulang. Etueni ketika dia duduk di kapal, sempat berpikir bahwa ini adalah ide yang berbahaya dan bodoh. Ia hampir melompat pulang. Tetapi kemudian Filo mulai berteriak, sebuah lolongan yang mencoba untuk mengekspresikan kegirangan. Samu dan Etueni ikut berteriak, bergabung dalam kegembiraan.

Mereka segera mulai meneriakkan nama-nama orang, yang barang barangnya telah mereka curi. Mereka menggoda paman Samu. "Ha-ha! Kami akan pergi! Kami mencuri perahumu!"

Merekapun mulai berlayar. Pelan pelan sampan itu melewati celah di terumbu karang di sekitar Atafu. Itu adalah pertama kalinya anak-anak lelaki itu berada di sisi laut Tokelau tanpa seorang nelayan ahli. Rencana mereka, kata mereka kemudian, adalah mencapai atol berikutnya. Mereka pikir itu akan memakan waktu tiga atau empat hari. Mereka hanya memiliki pakaian yang mereka kenakan: celana pendek dan T-shirt dan sandal. Tidak ada yang memakai topi. Tidak ada yang ingat untuk membawa kacamata hitam.

Petualangan Yang Tidak Terduga


Tiga remaja ini mengawali petualangannya dengan berpesta. Mereka terus minum. Etueni adalah bartender, meramu air dan vodka, dalam satu cangkir teh mereka. Mereka terus bergembira sampai  kelelahan. Filo adalah yang pertama lelah, dia meringkuk di dasar perahu. Samu dan Etueni terjaga, masih minum. Mereka fikir, perbekalan masih banyak. Dan penduduk Tokelau pasti akan kehilangan mereka dan mencarinya. Paling lama perjalanan ini hanya 5 hari.

Etueni menari nari diatas perahu. Entah bagaimana, karena kecerobohannya, Etueni melepas bajunya dan melepaskannya ke laut. Samu mengendalikan mesin. Kemudian Samu juga menjadi mengantuk. Jadi Etueni menyetir sebentar. Akhirnya dia mematikan mesin. Dan tak lama kemudian ketiga bocah itu tertidur pulas di bagian bawah perahu yang terbuat dari logam.

Siksaan samudera akhirnya dimulai. Tiga remaja ini kedinginan di malam hari. Dingin dan basah. Gelombang dan cipratan terus-menerus tumpah ke kapal. Genangan air di dasar segera naik ke telinga mereka. Etueni bangun lebih dulu, karena suara beberapa lusin camar terbang di sekitar. Dia tidak bisa lagi melihat daratan. Matahari yang cerah, dia sadari hari telah siang. Filo bangun berikutnya. Dia langsung muntah ke samping. Kemudian Samu bangun, dan dia juga, muntah.

Samu menghidupkan mesinnya. "Kami baru saja mulai," kata Filo. Jalanlah kemana saja." Mereka tidak khawatir. "Kami pikir kami akan baik-baik saja," kata Etueni. "Bocah-bocah lain ditemukan dalam lima hari."

Mereka mulai memecahkan kelapa bekal mereka, membenturkannya ke pagar kapal. Kemudian meminum cairannya, dan membuangnya. Mereka bahkan tidak merasa perlu untuk mengeluarkan daging kelapa. Kemudian mereka menghabiskan kedua botol susu. Mereka mengeluarkan rokok. Hanya enam yang kering. Mereka merokok.

Mereka menjalankan mesin sebentar-sebentar. Itu adalah hari yang hangat dan mendung. Gagasan baru mereka adalah mengikuti burung camar. Mereka mengira, burung-burung itu secara alami akan kembali ke darat pada malam hari. Tetapi burung-burung itu tampaknya terbang secara acak, mungkin dalam lingkaran besar. Dan burung burung itu tidur diatas lautan. Kaki mereka berselaput seperti bebek, memungkinkan mereka mengapung ketika lautan tenang.

Saat sore berlalu, mereka menjadi sedikit lapar. Mereka bertanya-tanya apa yang dikatakan orang tentang mereka di Atafu. Akhirnya matahari terbenam. "Kami masih dalam suasana hati yang baik," kata Filo. "Tidak begitu lapar." Mereka tidur lagi di genangan air di dasar perahu.

Keesokan harinya, mereka melihat pesawat terbang. Itu terbang rendah, dan mereka pikir pesawat itu sedang mencari mereka. Etueni melambai, dan dua anak laki-laki lainnya segera menggodanya karena ingin segera diselamatkan. Tapi pesawat itu pergi. Jadi dia berhenti melambai. Filo dan Samu tidak berpikir dua hari sudah cukup untuk tampak heroik. Mereka menduga, saat pesawat terbang, bahwa pesawat itu akhirnya akan kembali.

Beberapa jam setelah pesawat pergi, Samu mulai menderita ruam yang sangat buruk. Ada semburan benjolan merah gatal di kaki dan lengannya. Mungkin karena tidur selama beberapa malam di genangan air laut. Dia menggaruknya terus-menerus, dan tak lama kemudian ada serpihan kulit di seluruh kapal. Meski begitu, dia jarang mengeluh. Samu memiliki pembawaan yang serius dan tenang, kualitas mengagumkan di antara Tokelauans. Dia sering menjawab pertanyaan saya hanya dengan menaikkan alisnya, ekspresi serba guna yang berarti "ya" atau "Saya setuju" atau "itu lucu" atau "hmm" atau selusin hal lainnya.

Pada titik ini - mendekati malam ketiga, tanpa tahu di mana mereka berada - persediaan mereka makin sedikit. Mereka masih yakin seseorang akan segera menyelamatkan mereka. Pada hari berikutnya, mereka menghabiskan wadah air mayones dan terus minum kelapa, kali ini mereka tidak menyisakan bagian dalam. Pada malam itu, mereka telah menggunakan semua gas. Mereka sekarang hanya bisa hanyut dengan arus. Mereka membuang semua kontainer bahan bakar ke laut. Ketika mereka tidur, mereka masih memiliki sebelas kelapa yang tersisa.

Tidur mereka gelisah dan basah. Angin bertiup. Etueni, yang kehilangan kemejanya pada malam pertama, sangat kedinginan. Di pagi hari, masih ada air di sekitar mereka. Tidak ada kapal penyelamat. Tidak ada pesawat terbang. Etueni akhirnya mengatakannya: "Bukankah kita sudah ditemukan sekarang?" Teman temannya menertawakan Etueni.

Mulut mereka segera menjadi sangat kering. Hujan tidak turun sama sekali selama perjalanan. Dan satu-satunya barang yang bisa dimakan adalah kelapa. Hari itu, mereka masing-masing minum dan makan dua, penggunaan yang berlebihan dari persediaan mereka, namun itu tidak cukup untuk memuaskan dahaga mereka atau memuaskan rasa lapar mereka. Pada saat mereka tidur malam itu, mereka hanya memiliki lima buah kelapa yang tersisa.

Saat matahari terbit pada hari kelima anak-anak lelaki ini akhirnya merengek, dengan keras, bahwa mereka ingin kembali, bahwa mereka berharap mereka ada di rumah. Mereka sepakat untuk hanya makan satu kelapa hari itu, membaginya tiga. Namun sepertiga kelapa tidaklah cukup. "Bibir kami masih kering," kata Etueni. "Perut kami lapar," kata Filo. Namun, mereka menahan diri untuk tidak makan lagi.

Keesokan paginya -hari keenam - ketiganya sadar bahwa mereka telah melakukan kesalahan besar. Tapi apa yang bisa mereka lakukan? Mereka duduk di bangku, saling berhadapan. Mereka tidak punya jam tangan. Tidak ada yang dibaca. Tanpa pena atau kertas. Mereka mencoba mengalihkan perhatian mereka dengan percakapan, tetapi mereka tidak banyak bicara. "Itu mulai sepi," kata Etueni. "Yang kupikirkan hanyalah air dan jus."

Kepanikan Di Atafu : "Ooh Tidak Lagi..."

Hilangnya 3 remaja itu segera disadari oleh penduduk Atafu, terutama orang tua mereka. Keadaan darurat diumumkan. Ketika ada keadaan darurat seperti itu di Atafu, sekretaris desa akan berjalan di jalanan berkerikil sambil meniup terompet kuningan, berjalan melewati rumah-rumah. Dia melakukan ini pada pagi hari, memanggil semua orang ke ruang pertemuan Atafu.

Pemimpin penduduk Tokelau disebut ULU. Posisi ini berotasi setiap tahun di antara kepala masing-masing pulau. pada tahun ini sang Ulu berasal dari Atafu. Namanya Kuresa Nasau. Ia segera memerintahkan semua lelaki desa untuk memeriksa dengan teliti laguna dan pulau-pulau terluar. Dia menghubungi para pemimpin dari dua atol lainnya, dan mereka juga mengirim orang-orang mereka keluar.

Hal ini menimbulkan keresahan. Seorang perawat yang bekerja di klinik medis pulau itu, berkata : "Oh tidak, tidak lagi......" . Pulau itu baru saja pulih dari tragedi delapan bulan sebelumnya, ketika tiga pria di sebuah tongkang terjebak dalam badai. Kapal mereka terbalik. Mayat-mayat itu terbawa ke darat. Dan sekarang tiga lagi hilang. ...

Hal-hal seperti itu sering terjadi di Tokelau. Beberapa kali kapal meledak, atau misi bunuh diri. Belakangan ini, Tokelauan bunuh diri dengan cara mengemudikan sampan ke lautan terbuka sampai gasnya habis.

Pagi berikutnya, masih belum ditemukan. Sang Ulu meminta bantuan dari Angkatan Udara Kerajaan Selandia Baru. Mereka dengan cepat mengirimkan pesawat pengintai militer P-3 Orion dengan radar yang mampu mendeteksi sesuatu yang sekecil periskop kapal selam. Area pencarian total, menurut Nick Olney, komandan sayap Orion, lebih dari 8.500 mil persegi. Pesawat mencari tiga kali secara terpisah, kembali satu kali ke Samoa untuk mengisi bahan bakar — selama total delapan jam.

Mencoba Minum Air Laut : "Uweeh...Rasanya Kok Begini.."


Kita kembali lagi ke samudra Pasific. Tiga remaja ini segera memakan kelapa terakhir mereka. Samu bertugas memecahkannya. Dia menggunakan parang, hati-hati untuk tidak menumpahkan air kelapa yang berharga. Samu menghirup lebih dulu. Dia memberikannya kepada Filo, yang kemudian  menyerahkannya ke Etueni, yang menyerahkannya kembali ke Samu. Mereka menyantap setiap potongan daging kelapa. Lalu melemparkan cangkang ke laut.

Sekarang mereka tidak punya apa-apa lagi.

Hanya ada matahari, yang mengalahkan mereka. Rasa haus seperti tangan yang masuk ke kerongkongan mereka. "Saat itulah kami mulai berpikir tentang minum air laut," kata Etueni. Filo memperingatkan mereka bahwa itu adalah ide yang buruk. Dia telah mempelajarinya dari acara Discovery Channel bernama I Shouldn't Be Alive. Air laut tiga kali lebih asin dari darah tubuh.

Pagi berikutnya, Samu berkata : "Aku harus meminumnya...." lalu dia  mencelupkan cangkir teh ke laut. Dia mulai menyesap. "Lalu aku muak melihat Samu meminumnya," kata Etueni.

"Aku juga," kata Filo.

Mereka semua minum air laut bersama.

Bagaimana rasanya? "Uwekk," kata Etueni. Tapi mereka terus minum. Masih belum hujan.

Mereka turun ke dalam kesunyian. Berjam-jam berlalu tanpa ada kata-kata. Dan apa yang akan dikatakan seseorang ketika keheningan akhirnya pecah?

"Aku lapar," kata Etueni.

Akhirnya, lebih dari satu minggu dalam perjalanan, hujan turun. Deras. Selama sepuluh menit. Dan untuk pertama kalinya, anak-anak lelaki itu menggunakan terpal hijau, yang telah dikepal dan dimasukkan ke dalam cengkeraman kecil di haluan. Mereka mengambilnya dan membentangkannya untuk menangkap air hujan.

Dan akhirnya sesuatu yang baik terjadi. Ternyata di sana, tersembunyi di bawah terpal, ada tiga buah kelapa lagi. Mereka sudah cukup tua - mereka mungkin berada di kapal ketika mereka mengambilnya - dan sudah pecah, semua air hilang, dan telah tersiram bensin. Tapi masih ada daging di sana. Mereka segera memakannya dan meminum setiap tetes air hujan yang mereka kumpulkan.

Dan kemudian benar-benar tidak ada yang tersisa.

Menangkap Ikan : "Ikan Sebesar Kelingking Dibagi Bertiga.."


Kunci untuk tetap hidup, sebagaimana dibuktikan oleh hampir setiap kisah survivor, adalah kemampuan untuk menangkap ikan. 

Poon Lim, orang China yang terlempar dari kapal dagang Inggris yang dihantam ditorpedo di Atlantik pada tahun 1942, bertahan hidup dengan membuat kail kecil dari kawat senter lalu terus menangkap ikan yang cukup. Ia mampu bertahan dalam sekoci tanpa bantuan setelah 133 hari dilaut. Maurice dan Maralyn Bailey terkatung katung selama 118 hari pada tahun 1973 juga menangkap puluhan ikan dan kura-kura. Steven Callahan, yang pada tahun 1982 bertahan selama tujuh puluh enam hari, memiliki sebuah tombak yang dengannya dia menangkap beberapa ikan Dorado besar. Dan seterusnya, masih banyak lagi.

Samu, Filo, dan Etueni melihat banyak ikan. Bayangan dari perahu apung melayang menciptakan semacam terumbu buatan yang menarik banyak ikan kecil, yang pada gilirannya memikat yang lebih besar. Ada juga burung-burung yang selalu berputar-putar, yang menyelam mencari ikan di siang hari dan tidur terapung-apung di atas air di malam hari. Semua makanan yang dibutuhkan para remaja itu terlihat oleh mereka, namun tidak terjangkau.

Filo dan Etueni mencari solusi. Mereka berfikir untuk membongkar mesin dan menarik kawat, atau mungkin gulungan tipis pada busi, dan membentuk alat memancing.

Tetapi Samu dengan tegas menolaknya. Itu adalah kapal pamannya, motor pamannya, dan dia dengan tegas menolak untuk mengizinkan siapa pun menyentuhnya. Ini sangat membuat Filo dan Etueni frustrasi, tetapi Samu tidak pernah bergeming. Pendapatnya jelas: Dia lebih baik mati — dan Filo dan Etueni juga mati — daripada mengizinkan siapa pun merobek mesin yang sangat bagus. Anda bisa mencuri kapal orang lain, tapi jangan main-main dengan mesinnya. Nilai penggantinya sangat mahal lebih dari $ 2.500.

Untuk sementara, Etueni mencoba memancing dengan tangannya, hanya memegangnya di air di sisi kapal. Dia bilang dia benar-benar merasakan ikan tetapi tidak pernah bisa mengambilnya. Anak-anak lelaki itu juga melihat beberapa hiu - hiu putih dan hiu martil. Mereka berenang sangat dekat, dan Samu merasa dia bisa melompat dari kapal, dengan parang di mulutnya, dan mendarat di atas hiu itu, lalu mengiris lehernya. Hanya Samu yang akan datang dengan ide seperti itu.

Tetapi dengan kebetulan belaka, para remaja itu benar-benar menangkap beberapa ikan. Kerugian utama dari kapal sisi rendah adalah air laut terus-menerus terciprat. Gelombang dengan ukuran berapa pun akan pecah di atasnya. Tetapi sering sekali - total empat kali selama perjalanan - ombak membawa ikan yang akan jatuh ke dalam perahu. Tiga dari ikan itu kecil. Etueni menggambarkan mereka hanya seukuran kelingking. Mereka memakannya masing-masing satu gigitan. Rasanya mengerikan. Mereka tidak memiliki air liur, dan butuh sepanjang hari untuk menghilangkan rasa pahit.

Suatu kali, mereka sedikit lebih beruntung. Ombak menempatkan ikan yang lebih besar di kapal. Mereka menyebutnya "bayi ikan todak." Ikan itu mati, mengambang di permukaan. Panjangnya sekitar enam inci. Mereka memakannya, masing-masing empat gigitan. Etueni mengatakan dia menelan seluruh kepala.

Begitu anak-anak lelaki itu menghabiskan kelapa terakhir mereka, maka total asupan makanan mereka: tiga ikan kecil dan bayi ikan todak - total tujuh gigitan - selama sekitar satu bulan. 

Ketika hujan turun, yang terjadi kira-kira setiap dua hari sekali, mereka akan membentuk terpal menjadi mangkuk. Serpihan kulit akan mengapung di sekitar air hujan, bersama dengan potongan-potongan plastik dari terpal yang hancur. Awalnya anak-anak bergiliran mengambil air dengan cangkir teh. Kemudian suatu hari Samu secara tidak sengaja menabrak piala di sisi kapal, dan itu pecah. Mereka mulai menjilat terpal seperti anjing. Mereka ingin menghemat air tetapi tidak pernah bisa. Haus terlalu kuat. Tapi setidaknya, setelah hujan badai yang layak, mereka mengatakan merasa hampir kenyang.

Kelaparan Dan Frustasi : Badan Digerogoti Dari Dalam


Matahari adalah ancaman lain bagi mereka. Semua kulit mereka tumbuh ruam gatal yang menyiksa akibat cahaya matahari, memicu luka bakar yang parah. Satu-satunya cara mereka bisa tetap nyaman adalah melepas pakaian mereka. Mereka melemparkan pakaiannya ke laut dalam amarah dan frustrasi. Mereka hanya menyimpan satu T-shirt milik Filo, yang mereka gunakan untuk mengeringkan bagian bawah kapal.

Akhirnya, mereka menghindari berbaring di genangan air. Mereka tidur sambil duduk di antara bangku, dengan kaki saling berjalin. Mereka berkerumun bersama, terbungkus terpal. Sementara ombak terus saja mengirimkan air memenuhi perahu.

Rasa lapar tak tertahankan. Lambung ini rasanya seperti dirobek robek. Emosi jadi tidak terkontrol dan gampang marah. Lebih baik tidur. Siang tidur. Malam juga tidur. Supaya waktu cepat habis berlalu. Tapi mereka nyaris berkelahi untuk memperebutkan ruang kosong untuk tidur.

"Jika sudah malam, aku ingin segera siang" kata Etueni. "Jika siang hari, aku ingin segera malam."

Badan mereka terlihat semakin kurus. Kelaparan adalah proses yang berbahaya. Setelah tubuh mengonsumsi semua makanan di perutmu, berikutnya energi yang tersimpan dalam lemak akan digerogoti. Ketika semua lemak yang tersedia telah habis, tubuhmu akan memakan jaringan otot. Pada dasarnya, Kamu sedang dimakan hidup-hidup, dari dalam.

Tubuhmu menangis untuk makanan. Kekuatan fisik dilemahkan. Sulit untuk berpikir jernih. Segalanya tampak terjadi dalam gerak lambat.

Terkadang anak-anak itu berdoa. Hanya itu yang bisa mereka lakukan. Biasanya di malam hari. Mereka akan bergiliran. "Ya Tuhan," kata mereka, menurut Etueni, "tolong bawa kami pulang. Maafkan kami. Kami akan baik-baik saja." Mereka membuat janji kepada Tuhan. "Kita tidak akan minum lagi." "Kita tidak akan pernah merokok lagi." "Kita akan berhasil di sekolah." "Kita akan menjadi anak laki-laki yang baik." "Kita akan menjaga keluarga kita."

Terkadang mereka menangis. Mereka semua melakukannya. "Air mata baru saja datang," kata Etueni. Seseorang akan membalikkan punggungnya dan menutupi wajahnya, tetapi yang lain tahu. Jadi mereka duduk di sebelahnya, memeluknya. Mereka akan saling menghibur dengan cara terbaik yang mereka bisa. "Tidak apa-apa, tidak apa-apa." "Kita akan sampai di sana." "Kami akan melihat keluargamu lagi."


Melihat Kapal


Beberapa malam kemudian, mereka melihat sebuah kapal. Itu besar, geladak yang diterangi lampu oranye. Mereka tidak melihat perahu sejak meninggalkan Tokelau. Sulit untuk mengatakan seberapa jauh jaraknya. Mereka berpikir, Ayo berlayar dan mengejar kapal itu. Maka mereka mengangkat terpal sebagai layar dan mencoba memanfaatkan angin. Tapi itu melelahkan. Jadi mereka berdebat apakah akan melompat di air dan berenang untuk mengejarnya. Atau haruskah hanya Samu yang pergi?  Atau haruskah mereka semua pergi? Mereka tidak bisa memutuskan.

Dan selagi mereka berdebat, kapal itu  pergi menghilang.

Mereka menatap dengan pandangan kosong. Mereka bertanya-tanya apakah itu satu-satunya kesempatan mereka. Mungkin mereka akan mati sebelum melihat kapal lain. Mereka memikirkan semua makanan di kapal itu. Kehangatan. Tempat tidur. Mereka akhirnya saling menyalahkan karena tidak melompat ke dalam air. Atau setidaknya melakukan upaya aktif untuk menyelamatkan hidup mereka.

Sekarang yang bisa mereka lakukan hanyalah duduk di sampan dan menunggu.

Segera setelah kapal lewat, Etueni ngadat. Dia berhenti bicara. Dia meringkuk di haluan. Dia bahkan tidak duduk — dia hanya berbaring sepanjang hari di dasar perahu, bisu. Tidak bergerak. Mata setengah terbuka. Dia melakukan ini selama berminggu-minggu.

Ngadatnya Etueni membuat marah Samu. Filo netral tentang hal itu, tetapi Samu mengerti bahwa jika mereka ingin bertahan hidup, mereka perlu bekerja sama. "Etueni tidak membantu kita membersihkan, tidak membantu cari makan, tidak berbicara," kata Filo.

Etueni terkunci di dunianya sendiri. Lidahnya menolak bekerja. "Aku ingin bicara," kata Etueni dalam sebuah pengakuan. "Tapi aku punya rasa yang mengerikan di mulutku. Air laut tidak membantu. Tidak ada yang membantu. Aku tidak bisa menyingkirkannya, apa pun yang kulakukan."

Runtutan kejadian itu diputar kembali di kepalanya, berulang-ulang, berjam-jam. "Kenapa aku datang kesini? Kenapa aku datang kesini?" "Aku benci ini, aku benci ini." Kemudian ia berpikir untuk mati, sesuatu yang tidak boleh dilakukan oleh anak berusia 14 tahun. "Aku berpikir tentang bunuh diri," katanya.

Dia mempertimbangkan menikam dirinya sendiri dengan parang. Dia juga memikirkan cara tercepat untuk mati, yang paling mudah, dan paling tidak menyakitkan.

Kembali di Atafu, ketika minggu-minggu berlalu dan tidak ada tanda-tanda dari anak-anak itu, orang-orang tidak yakin apa yang harus dilakukan. Di sekolah, mereka membiarkan meja anak laki-laki kosong. Para nelayan tidak pernah berhenti mencari. Mereka akan melirik cakrawala ekstra panjang. Setiap pagi orang berjalan di pantai, mencari tanda.

Ayah Filo, Tanu Filo, mengatakan dia sering bermimpi tentang putranya di mana dia bisa melihat Filo tetapi tidak bisa berbicara dengannya. Pikirannya mengatakan kepadanya bahwa tidak ada harapan, tetapi mimpinya mengatakan sebaliknya. Dia merasa tidak berdaya. Dia berhenti bekerja, pergi ke pantai, dan mendirikan tenda. Dia tinggal di sana beberapa malam, menatap ke laut.

Sang Ulu berada di posisi yang sulit. Dia ingin menutup pencarian tetapi tidak bisa. Dia berbicara dengan seorang kapten kapal di Samoa Amerika yang telah mengikuti dengan cermat cuaca dan angin sejak hari ketika anak-anak itu hilang. Setelah enam minggu, sang kapten memberi tahu sang Ulu , "Maaf, anak-anak itu tidak selamat.... Tidak seorang pun... dapat bertahan selama itu tanpa makanan atau air" katanya.

Tapi terlalu prematur menyatakan anak-anak itu mati. "Kita tidak boleh menyerah. Kita bisa menunggu bertahun-tahun." akhirnya Sang Ulu memutuskan. 

Emosi Meluap,  Parang Terhunus Ke Leher


Jauh lautan yang sunyi, Etueni masihmerenung untuk bunuh diri. Etueni sendirian di haluan kapal. Filo dan Samu tidur di belakang. Mereka memiliki terpal. Etueni bahkan tidak bisa berbaring. "Jika aku meluruskan kakiku," katanya, "mereka akan menendangku dan memberitahuku untuk menariknya kembali." Kadang-kadang, katanya, karena dia tidak membantu, Filo dan Samu minum hampir semua air hujan. Samu menamparnya beberapa kali untuk mencoba dan mengeluarkannya dari kesunyian.

Dan kemudian, ketika Etueni meringkuk di depan kapal, Samu meminta diambilkan parang untuknya. Dia ingin mengikis kulitnya, untuk mengurangi ruam yang menyakitkan. Tapi Etueni menolak untuk bergerak. Dia hanya mengatakan bahwa dia tidak tahu di mana parang itu berada. Ternyata, Parang itu ada di bawah badannya.

Samu emosi. Dia menendang Etueni. "Bangun...!" katanya diiringi suara tendangan kaki kebadan Etueni. Tapi Etueni tetap tidak bergeming. Ia hanya berbaring saja.


Dalam sekejap, Samu naik darah. Ia menyentak badan Etueni, kemudian meraih parang. Kemudian ia mengarahkan parang itu ke leher Etueni. Menekannya dengan keras. Etueni menahan parang itu dengan jari-jarinya. Samu menekan dengan sangat keras. Etueni menahan sekuat tenaga. Tapi tetap saja parang itu menggores lehernya hingga berdarah.

Etueni berhasil mendorong balik. Leher Etueni terluka. Samu benar benar akan membunuhnya. Filo yang sedang tidur di sisi lain kapal, terbangun karena keributan. Etueni akhirnya mengatakan sesuatu. "Tolong," bisiknya. "Aku tidak ingin mati." Dan Etueni menyadari pada saat ini bahwa ucapannya itu benar. Dia tidak ingin mati. Meski sudah berencana bunuh diri. Pada saat itu ia teringat ibunya.

Keduanya masih bertarung saling memegangi parang. "Lepaskan," kata Samu kepada Etueni. Etueni tidak melepaskannya. Kemudian, tiba-tiba, Samu menjatuhkan parang. Berderak di lantai aluminium. "Kamu beruntung kali ini," kata Samu. Dan dia memunggungi Etueni. Saat Samu lengah, Etueni memungut parang dan berniat membunuh Samu.

"Aku duduk dengan cepat," kata Etueni, "dan mengambilnya". Aku sedang berpikir untuk membunuh Samu." Dia mengatakan kepada saya bahwa ini adalah pertama kalinya dalam hidupnya dia benar-benar ingin membunuh orang lain. "Aku bisa melompati dia. Itu kesempatan yang bagus. Punggungnya berbalik ke arahku."

Tetapi sesuatu menghentikannya. Ia teringat wejangan Martin Luther King yang ia baca dari salah satu buku sekolahnya dan itu selalu melekat padanya: "Kita semua harus belajar untuk hidup bersama sebagai saudara atau kita semua akan binasa bersama sebagai orang bodoh."

Etueni meletakkan parang.


Memakan Apa Saja : Dari Camar Sampai Teritip


Suatu sore, seekor burung - salah satu burung camar kelabu - mendarat di atas kapal. Anak-anak lelaki itu setengah koma. Mereka menatap burung itu.

Samu berbicara pada burung itu. "Dari mana asalmu, burung?" Dia bertanya. "Siapa namamu?" Anak-anak itu benar-benar tertawa. Mereka pikir itu pertanda. Tanda dari Tuhan. Malaikat. "Bisakah kamu membawa kami kembali ke rumah?" tanya Samu.

Burung itu tidak menjawab. "Aku berbicara denganmu," kata Samu. "Hei! Perhatikan." Camar itu tetap tenang di sana untuk waktu yang lama. Membuat Filo punya ide untuk menangkapnya. Filo bergerak pelan mendekati.  Tiba-tiba, ia menerjang...... namun ia telah kehilangan kecekatannya. Burung itu dengan mudah terbang.

Beberapa hari kemudian, burung lain datang. Itu terjadi setelah hujan badai besar, dan banyak persediaan air di terpal. Kali ini, Samu mencoba menangkapnya. Dia mengendap diam-diam. Dia berjongkok rendah dan meraih leher burung itu. Berhasil...! Dia memelintir lehernya. Samu berpikir burung itu sudah mati, maka dia melepaskannya. Tapi burung itu segera mulai berkotek lagi. Samu memelintir lagi lehernya. Lalu Samu mencabut bulu-bulunya.

Dia memotong kulit dengan giginya. Mereka makan sedikit daging mentah. Tetapi bahkan dalam rasa lapar mereka, rasa burung itu sangat tidak enak.  Jadi mereka mengeringkan bangkainya di bawah sinar matahari. Dan itu lebih bagus. Mereka memakan semua daging. Mereka memakan organ, jantung, dan hati. Mereka mencari-cari ikan di perut burung itu. Mereka menggerogoti tulang dan memakan semuanya. "Setelah itu," kata Etueni, "kami menginginkan lebih."

Mereka minum air di terpal. Laut begitu tenang sehingga ombak tidak masuk ke dalam sampan. Etueni mengakhiri kebisuannya. "Burung itu akhirnya membantu," katanya, "dan aku mulai berbicara." Itu hari yang baik. "Kami berteman lagi," kata Etueni. "Kami bahagia hari itu." Tapi tidak ada lagi burung yang mendarat di atas kapal.

Kelegaan yang diberikan oleh beberapa gigitan daging itu tidak bertahan lama. Cuma membangkitkan kembali rasa lapar mereka. Segera mereka merasa lebih lapar dari sebelumnya. Matahari terus berdenyut. Laut membentang di sekitar, tak terbatas dan kejam.

Terkadang, Samu dan Filo menghabiskan beberapa menit berenang dilaut untuk mendinginkan badan. Ketika berenang ini, mereka menemukan teritip di bagian bawah kapal. Samu adalah orang pertama yang memakannya. Ternyata rasanya lebih enak dari makanan mereka sebelumnya. Samu membagikan teritip itu kepada teman temannya. Mereka setuju rasanya enak. 



Filo Hanyut, Mereka Makan Bangku Perahu


Teritip membuat ketagihan. Mereka silih berganti terjun ke air, mencongkeli teritip di dinding perahu. Sekarang giliran Filo yang mencoba mencungkil teritip. Ia terjun ke air, ternyata arusnya kuat. Filo hanyut. Dia terlalu lemah untuk berenang mengejar perahu. Filo semakin jauh.....

Tetapi Samu tidak tinggal diam. Ia Memegang sampan di satu tangan, dan berenang dengan tangan yang lain. Perahu itu bergerak mengikuti kayuhan Samu. Itu adalah kekuatan yang luar biasa, mengingat kondisinya. Dia berhasil berenang cukup cepat untuk mencapai Filo. Arus air membantunya. Dia berhasil meraih tangan Filo dan menyeretnya ke kapal.

Itu terakhir kali ada yang berenang. Setelah itu tidak seorangpun berani mengambil teritip. Kelaparan menghantui lagi...

Mereka tergila-gila oleh kelaparan, putus asa tanpa batas. Tubuh mereka membusuk di depan mata mereka. Lidah mereka, tebal karena kehausan, menempel di bagian dalam mulut mereka. Sedikit air liur yang bisa mereka hasilkan adalah kental seperti lem. Bibir mereka pecah. Lengan dan kaki mereka bengkak. Gluteus maximus - otot terbesar dalam tubuh - hampir sepenuhnya habis

Kelaparan menurunkan suhu internal mereka dan mereka lebih dingin dari sebelumnya di malam hari. Tubuh mereka telah menggunakan semua lemak mereka. 

Dalam kesedihan dan kelaparan, Samu menggigitkan rahangnya di salah satu bangku kayu kapal. Bangku itu dua inci tebalnya. Tapi dia telah menggigit sepotong. Dia mengunyahnya selama beberapa menit. Lalu menelannya ...!.

Apa yang dilakukan Samu diperhatikan oleh yang lain. Mereka semua ikut bergabung. Bangku depan sering terkena air laut sehingga sedikit lebih empuk daripada bangku belakang. Jadi itulah yang mereka makan. Mereka makan banyak....!

Rencana Kanibal : Lebih Baik Makan Teman Daripada Sekarat !


Bukan cuma bangku yang mereka makan. Mereka juga memakan sebagian rambut yang jatuh dari kepala mereka. Mereka memakan sedikit kuku mereka.  Mereka sekarat...!.

Dan kemudian ruam pada kulit Filo mencapai titik penyiksaan. Dia berada di bawah terpal di tengah malam dan merasakan apa yang dia sebut sebagai sengatan listrik di seluruh tubuhnya. Dia melompat. Dia berteriak. "Ya Tuhan, tolonglah! Singkirkan rasa sakit ini!"

Dia berteriak lebih keras. "Ya Tuhan, maafkan aku!" Dia ingin merobek kulitnya. Dia tidak tahan lagi. Dia sudah selesai. Dia meraih parang. Dia memohon Samu untuk membunuhnya. "Tusuk. Tusuk." Samu tidak meladeni. Kemudian dia memohon kepada Etueni. "Aku merasa seperti terbakar," . "Aku lebih baik mati daripada menahan rasa sakit.

Keduanya menolak. "Apakah kamu tidak ingin melihat orang tuamu?" Samu bertanya.

Akhirnya rasa sakit mereda. Kelelahan mencengkeramnya. Ada terlalu banyak air di kapal untuk berbaring, jadi mereka tidur siang sambil duduk. Samu dan Etueni menjaga jarak agar tidak membuat kontak dengan kulit Filo.

Samu mengatakan dia menyerah berharap. Dan itu, anehnya, itu membuatnya tidak takut lagi. Tidak takut kepada apapun. Dia tidak takut mati lagi. Dia tidak lagi menangis. Dia hanya duduk di sana dalam kebisuan tertegun.

Samu sadar semakin dekat kematian. Rasa lapar yang sedemikian rupa, mendatangkan pikiran jahat. Mereka bertiga bisa mati, atau satu bisa mati sehingga keduanya bisa hidup. Mengorbankan satu teman untuk kehidupan yang lainnya. Kanibal.

Dan orang yang akan dibunuh sudah diincar. Samu berkata kepada Filo : "apa yang akan kamu lakukan jika aku membunuh Etueni?". Filo berkata : "Saya tidak tahu."

Samu berkata kepada saya : "Jika saya membunuhnya, apakah kamu akan memakannya bersamaku?" Aku berkata : "tidak" . Filo menolak tegas. Tapi selama beberapa hari, Samu selalu menyampaikan hal yang sama dalam percakapan pribadi, ketika Etueni tertidur. Samu mengulangi perkataannya beberapa kali : "Aku ingin melakukannya". Filo yakin dia akan melakukannya. Dia terus membicarakannya.

Namun, akhirnya, Samu memutuskan dia tidak bisa melakukannya. Dia bilang dia tidak bisa karena dia takut pada Tuhan.

Maka mereka bersiap untuk mati. Mereka berhenti berjuang. Itu terlalu melelahkan. Etueni sakit. Dia muntah berulang kali, tetapi sedikit yang keluar. "Hanya cairan kuning," katanya. Tapi dia muntah  di perahu. Dia terlalu lemah untuk mengangkat dirinya dan muntah ke laut.

Samu marah. Dia meninju wajah Etueni.  "Aku sudah minta maaf, tapi dia meninjuku lagi" Kata Etueni sambil menunjuk ke pipi kirinya

Hujan tidak turun lagi. Mereka minum air laut. "Kita semua tergeletak" kata Etueni. "Sepertinya tidak ada bedanya jika kita mati atau hidup." Mereka semua tergeletak di dasar perahu dalam keadaan paling lemah. Ditutupi oleh terpal, hampir mati. Dan kemudian Samu berdiri sejenak untuk melihat apakah awan hujan akan datang.

Dan dia mengatakan satu kata. Dia berkata, "Ya." Dan dia mengangkat tangannya. Dan mulai melambai. Apa yang dilihat Samu ? Apa arti lambaiannya ?

Akhir Perjalanan 


"Teman teman" katanya, "aku melihat perahu....!!."

Etueni dan Filo tidak percaya padanya. Beberapa kali sebelumnya, dia berpura-pura melihat perahu, dan ketika yang lain ingin melihat, dia tertawa. Tidak ada orang lain yang berpikir itu lucu. Jadi mereka membuatnya berjanji tidak akan melakukannya lagi. Sekarang mereka mengira dia bercanda sekali lagi.

Dari jauh, seorang awak kapal penangkap ikan tuna komersial melihat sesuatu yang berkilau dan metalik di air. Ia lalu memberi tahu navigator. Kapal itu adalah SAN NIKUNAU setinggi 280 kaki,  mengubah arah untuk menghindari tabrakan dengan benda metalik itu.

Ketika kapal mendekat, objek itu mulai jelas.  Ternyata sebuah perahu kecil, sebuah sampan aluminium. Saat itu sore hari tanggal 24 November. San Nikunau yang bermarkas di Selandia Baru berlayar di perairan terbuka di luar Fiji, di tengah luasnya Pasifik Selatan - sebuah bentangan seluas selusin Sahara di mana hanya ada setitik tanah yang tersebar.

Sampan, empat belas kaki panjang yang sebenarnya dirancang untuk bepergian di danau atau mennyusuri garis pantai. Seharusnya tidak berada di samudera Pasifik ini. Terlalu kecil. Bahkan nyaris tak terlihat oleh San Nikunau.

Sampan itu tampak kosong. Tetapi kemudian, ketika kapal besar itu mendekati sampan, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Dari dasar perahu kecil itu, muncul perlahan-lahan satu lengan - satu lengan manusia, kurus dan digoreng matahari dan melambai minta tolong.


Dari sampan itu, Samu memanggil teman temannya : "teman teman bangunlah...!

Filo dan Etueni bangkit dengan goyah. Dan di sana, tepat di depan mereka, ada sebuah kapal. Kapal San Nikunau. "Aku mulai melambaikan tangan, tetapi aku hanya bisa mengangkat lenganku selama beberapa detik," kata Etueni. "Aku bertanya-tanya apakah itu mimpi."



Mereka takut kapal akan lewat begitu saja. Sepertinya kapal itu tidak berhenti. Tetapi kemudian, navigator kapal, Tai Fredricsen, berseru. Dia bertanya apakah mereka membutuhkan bantuan..? 

Anak-anak itu berteriak kompak : "YAA...!. 

Dan kapal menurunkan kapal penyelamat kecil. Fredricsen mengambil foto. Itu adalah gambar yang luar biasa dan memilukan — tiga bocah lelaki telanjang, menatap penyelamat mereka. Filo dan Samu mulai menangis. Tapi Etueni tidak. Dia terlalu dehidrasi. "Aku tidak bisa menangis," katanya. "Aku tidak punya air mata lagi."


Pertemuan itu menjadi akhir perjalanan mereka yang panjang dan menyakitkan Kisah tiga orang remaja di dalam sampan kecil. Tiga anak laki-laki. Dua berusia 15 tahun dan yang ketiga adalah 14. Mereka telanjang dan kurus. Kulit mereka tertutup lepuh. Lidah mereka bengkak. Mereka tidak punya makanan, tidak ada air, tidak ada pakaian, tidak ada alat tangkap, tidak ada rompi penyelamat, dan tidak ada kotak P3K. Mereka hampir mati. Mereka telah hilang selama lima puluh satu hari.

Mereka telah berlayar sekitar 750 mil. Mereka sudah pergi selama lebih dari tujuh minggu. Dengan bantuan kru kapal, mereka dinaikkan ke San Nikunau . Sampan dan mesinnya juga diselamatkan, untuk dikembalikan ke Tokelau. Mereka duduk di dapur, bingung dan kewalahan oleh aroma makanan.

Fredricsen memberi mereka minuman elektrolit dan sedikit roti. Etueni makan sebuah apel, tetapi itu membuatnya sakit, dan dia muntah ke dalam mangkuk di dapur.

Mereka mandi. Mereka meminjam pakaian. Samu membuat panggilan telepon pertama. Dia memanggil neneknya.



Ada perayaan di Tokelau. Semua remaja itu tidur di satu ranjang milik Fredricsen. "Ketika saya diberi tahu secara resmi," kata sang Ulu , "saya duduk dan menangis. Mereka kembali dari kematian."

Di Rumah Sakit Ibu Kota Fiji, Suva, anak-anak itu dirawat karena dehidrasi ekstrem, infeksi jamur, dan luka bakar tingkat dua. Mereka anemia. Mereka memiliki peningkatan detak jantung, pengecilan otot, dan infeksi yang menyebar. Etueni kehilangan dua gigi.

Leane Pearce, direktur kesehatan Tokelau, mengatakan mereka kemungkinan tidak akan bertahan seminggu lagi jika tidak diselamatkan.

Mereka menghabiskan beberapa hari di rumah sakit, kemudian terbang ke Samoa, di mana mereka tinggal bersama keluarga Tokelauan untuk beristirahat dan memulihkan diri. Tiga remaja itu makan dengan gila. Mereka juga melanggar beberapa janji yang mereka buat pada Tuhan; mereka minum alkohol, merokok.

Akhirnya, tepat setelah Natal, mereka diizinkan untuk mengambil perjalanan feri panjang kembali ke Atafu. Pada malam terakhir mereka di Samoa, mereka makan pizza dan ayam. Kemudian mereka pergi ke dermaga untuk naik feri.

Mereka berhasil kembali ke Atafu, di mana ada pesta selamat datang yang besar disiapkan. Samu memberikan pidato di mana dia meminta maaf atas tindakan mereka. Mereka menceritakan beberapa kisah petualangan mereka.

Dalam waktu dua bulan setelah kembali ke rumah, mereka semua meninggalkan Atafu. Filo dan Samu pergi bersama keluarga mereka ke Australia. Etueni pindah bersama keluarganya ke Hawaii.

Tak satu pun dari mereka yang tahu jika mereka akan kembali ke Atafu.

Cek Sumber :

Para Survivor Lautan (2) : Tiga Remaja Dari Tokelau 4.5 5 Subhan Hidayat Kisah tiga anak laki-laki dalam satu perahu kecil yang terkatung katung selama 51 hari di Samudra Pasific. Sebuah kisah mengerikan tenta...


Sampah Digital. Diberdayakan oleh Blogger.